“Gimana yah En, dia tuh udah mau pindah agama, malahan sudah belajar shalat dan
menjalankan ajaran Islam lainnya. Kan awal yang bagus tuh,” tutur Eni. Wit
terkesima, sejak kedatangan Eni tadi nampaknya Eni sudah kadung cinta berat sama
Yosef yang akrab dipanggil Eni dengan Yusuf. Cowok atletis bertampang bule itu
memang tidak mengecewakan secara fisik. Perhatian dan pengertiannya pada Eni
juga tak mengecewakan.
“Emang udah kenal berapa lama?” tanya Wit
akhirnya.
“Jalan satu setengah tahun.”
“Kamu sudah kenal keluarganya?
Sifat-sifatnya? Sikapnya?”
“Keluarganya sih belum. Sifat dan sikapnya Insya
Allah sudah. En ingin bantu dia menjauh dari kesesatan, ingin mengarahkan ia ke
jalan yang lurus, dirihoi Allah. Salahkah aku?” isak
Eni.
**
Menjadi agen peubah, itulah bagian terkecil dari sifat
sebagian wanita. Wanita terkadang ingin orang-orang yang dikasihi, dicintainya
berproses sesuai harapannya. Seperti kasus Eni misalnya, ia ingin Yusuf mualaf
agar proses pernikahan dan kehidupan mereka kelak mendapat ridho Allah. Tujuan
yang mulia memang. Namun terkadang tujuan mulia itu terhalang oleh rasa cinta
dan kasih yang sudah lebih dulu bersemayam di hati hingga mengaburkan mata hati
dan pikiran lainnya. Yang ada kemudian adalah timbulnya rasa ingin menolong,
membantu, merasa bahwa dirinya (dalam hal ini Eni) sudah sanggup menjadi agen
peubah bagi Yusuf. Kalau saja Eni mau bersahabat dengan hati dan pikirannya
lebih dalam lagi, akan timbullah pertanyaan, “Sudah siapkah aku menjadi agen
peubah? Sudah cukupkah bekalku membimbing dia yang mualaf? Apa yang aku harapkan
dari dia sebenarnya? Akukah yang butuh bimbingan atau dia? dan beragam
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mesti dijawab dengan kesungguhan hati,
kebijakan dan kesabaran dalam berproses.
Kalau ingin memilih, salah satu
proses yang meski kita hadapi dalam memilih calon pendamping hidup, pilihlah
perang batin sebelum memutuskan menerima daripada perang batin setelah menerima
dia jadi calon. Mengalami perang batin sebelumnya membuat kita lebih siap dalam
bersikap hingga mampu menerima apapun resiko yang kita hadapi dikemudian hari
atas keputusan yang kita ambil sendiri. Perang batin juga harus diimbangi dengan
upaya lebih mendekatkan diri pada Allah SWT, memohon petunjuk-Nya, bersikap
obyektif dalam membaca rambu-rambu yang diberikan-Nya. Rambu-rambu Allah itu
bisa tersalurkan melalui pendapat-pendapat sahabat kita atau orang-orang
terpercaya, bisa lewat sikap dan sifatnya baik yang tersirat maupun tersurat
saat berproses, dan lain-lain.
Menikah dengan muallaf sebenarnya sah-sah
saja. Namun kita mesti ingat bahwa seorang suami adalah pemimpin dalam rumah
tangga kita. Alangkah baiknya memilih suami yang lebih soleh daripada kita atau
setidaknya yang kualitas kesadaran dan pengamalan agamanya setara dengan
kita.
Kepemimpinan suami kepada istri dan anak-anaknya bermakna
memberikan perlindungan, memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan memberikan
pengarahan untuk selalu istiqomah di jalan keridhoan Allah.
Sebenarnya
tujuan Eni berdakwah pada Yusuf itu bagus, namun bukan berarti harus menikah
dengannya. Sementara keluarga yang diinginkan Eni adalah keluarga yang SAMARA
(Sakinah, Mawaddah, Warahmah). Keluarga sakinah itu hanyalah terjadi jika
seluruh anggotanya memiliki kepribadian yang Islami sehingga masing-masing
mereka dapat merasakan kenyamanan, ketenangan, ketentraman dan kecintaan.
Suasana tersebut akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga karena rumah
tangga tersebut didirikan oleh suami istri yang sholeh dan sholehah yang
sama-sama ingin mewujudkan pengamalan nilai-nilai Islam.
Memilih pasangan
hendaknya tak sekedar mengandalkan rasa cinta dan empati belaka, tetapi atas
dasar kebaikan agama dan akhlaknya. Dengan kesholehan suami ia dapat
melaksanakan perannya yang lebih besar dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan
batin bagi seluruh anggota keluarga, ia juga dapat berperan dalam menjaga
keistiqomahan, ibadah dan akhlak istri dan anak-anaknya sebagaimana ia dapat
memenuhi kebutuhan lahiriah.
Dalam syari’ah Islam, menikah dengan pria
yang berbeda agamanya adalah haram. Sedangkan dalam undang-undang perkawinan,
hukumnya tidak sah. Namun dalam pengertiannya tetaplah sama antara syari’ah
Islam dan UU perkawinan di masyarakat. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan No. 1
tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama. Artinya, bila agama (Islam) menyatakan perkawinan
itu sah, maka dalam hukum Indonesia begitu juga.
Petugas KUA akan
menolak pencatatan perkawinan dimana mempelainya berbeda agama. Begitu juga
dengan wali ataupun saksinya (kalau mereka konsisten dengan ajaran Islam).
Sehingga, apabila pernikahan tersebut tetap dilaksanakan, tidak berkekuatan
hukum dan tidak mendapatkan surat nikah selamanya.
Nah bagaimana dengan
pasangan-pasangan nekat seperti para artis yang menghalalkan hal itu? Mengapa
mereka bisa lolos dalam berproses?
Penyelundupan hukum pun terjadi yaitu
dengan cara menikah dihadapan KUA maupun Gereja, atau menikah dihadapan pegawai
kantor catatan sipil dengan memanipulasi identitas, bahkan ada juga yang menikah
di luar negeri yang menghalalkan pernikahan semacam ini. Yang namanya
“menyelundup” tentu akan membawa dampak yang tidak baik, karena tidak ada
kepastian hukum, status hukum istri dan anak.
Sungguh disayangkan hal
demikian bisa terjadi, mungkin status hukum bisa diusahakan dan dibeli, lantas
bagaimana dengan status agama? Bagaimana kita dimata Allah? Wallahualam
bishawab.
(Qudwah, dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment
THANKS FOR YOUR COMMENT by Sri Hartatik